Simply Love :)




Kasihku, jika suatu saat kita berpisah dan berdampingan dengan ruang yang memiliki bilangan ratusan kilometer, itu bukan sesuatu yang harus kita takuti. Tuhan tidak pernah menjadikan perpisahan sebagai sebuah arena untuk saling melupakan. Dan kamu pasti juga selalu jujur pada nuranimu untuk mengaminkan pertemuan kita selanjutnya.

Kasihku, Tuhan mencatat takdir yang harus kita penuhi secara sempurna hingga tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan di hidup ini. Kita bersua lalu setelahnya muncul serentetan peristiwa yang membuat kita kembali menjajaki masa dimana kebanyakan orang menyebutnya jatuh cinta. Kita tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi, kita hanya menjalani dan melengkapi takdir.

Majelis waktu yang mempertemukan kita, ketika itu tidak ada perasaan istimewa yang mendera hati. Kewibawaanmu yang muncul saat itu adalah menyambut dengan senyum yang bersahabat, melakukan ritual perkenalan lalu meneruskannya dengan sedikit obrolan ringan sebagai bentuk ucapan selamat datang. Seulas senyum membentuk bulan sabit di bibirmu bersamaan dengan uluran tangan, sebuah jabat tangan yang hangat.

Kasihku, bilakah cinta itu penuh tanda apakah bisa dikatakan jika perjumpaan awal merupakan suatu sinyal bahwa kelak kita akan saling merindu? Seperti biasa, kita tenggelam dalam rutinitas yang membuat kita sibuk dengan urusan tanggungjawab. Bahkan di saat seperti itu kita sama sekali lupa dengan sesuatu yang memang masih terlalu awam untuk dibicarakan. Awalnya, kita bukanlah dua manusia yang merasakan degup jantung terlalu cepat ketika tiba-tiba saling memandang, malu-malu ketika bertemu, dan juga segan untuk bertanya jawab. Kamu dan aku, pada mulanya hanyalah dua manusia yang menyadari bahwa terbit tenggelamnya surya masih bisa kita nikmati di tempat ini. Hingga kemudian kita sama-sama sadar bahwa ada kebahagiaan dan kadang juga kesenduan yang sukar untuk kita utarakan.

Tatapanmu gugup kala itu, dan mataku berusaha setenang mungkin menghadapinya. Pikiranmu campur aduk, dan aku berusaha sebijaksana mungkin menanggapinya. Itulah kala pertama kita menghabiskan senja di sepanjang jalan dengan satu bentangan yang membuat satu garis hijau berpadu merah jingga di batas cakrawala.

Kasihku, saat-saat selanjutnya senja lebih banyak mempertemukan kita. Meski senja terbaik bukan di tempat ini, tapi momentum yang baik kutemui di uraiannya. Kamu diam namun matamu berbicara. Bulu matamu yang lentik membuat siluet sempurna pada bayang warna jingga di ufuk barat. Katamu: “aku senang bertemu denganmu.”

***

Metamorfosa, jika ulat tumbuh menjadi kupu lalu kupu bertelur dan menetaskan ulat, bukankan itu proses berkepanjangan yang tak akan berhenti beranak-pinak dengan pola yang sama? Pun demikian pada pertemuan dan perpisahan yang terajut dari setiap helai benang waktu. Lalu, jika suatu saat kita tak bisa bebas menikmati senja bersama, yakinlah bahwa Tuhan sedang menyiapkan jamuan senja masa depan yang tentunya terbaik untuk kita.

Kasihku, kedua kalinya ketika kamu mengusung senyumku ke beranda bahagia adalah saat kamu percaya bahwa masa depan itu kita jalani, bukan kita nanti. Dengan bahasamu yang kadang sukar kumengerti, kamu berusaha memahamkanku bahwa berpasang-pasangan itu bukan perkara kesenangan, pun bukan sekedar urusan kebahagiaan dan kepuasan. Berpasang-pasangan adalah sebuah tanggungjawab, peruntukkan tugas bagi manusia yang dianugerahi akal sehat. Aku mafhum dan mengiyakan dengan sebuah guyonan: “kabari saja jika saatnya nanti tiba”. Kamu menunduk, memainkan gelas yang sedang kamu pegang, aku memalingkan wajah ke arah lain. Apa yang ada di benakmu saat itu ketika aku merasakan energi yang membuat jantungku berpacu lebih cepat dari keadaan normal?

Ada setumpuk pertanyaan ketika sekali waktu kamu datang, pertanyaan yang membuat perasaan kadang terlalu nyaman, kadang juga menjadi terlalu termanjakan. Senyum bulan sabitmu terlalu menawan untuk aku lewatkan, mengingat kemunculannya yang hanya sesekali waktu. Pun demikian pada saat ketika aku hanya bisa menyebutkan namamu, berharap sebuah pesan akan menyapaku, atau setidaknya Tuhan memberikan ruang telepati hingga kamu tahu bahwa aku merindukanmu.

Kasihku, perasaan yang demikian, begitu lembut bahkan terlalu abstrak untuk diejakan. Seketika aku seperti terjebak dalam ambivalensi: disatu sisi aku terlampau bahagia tapi di ruang yang lain aku pun merasakan kesedihan yang luar biasa. Apalagi jika bukan tentang perkara perpisahan. Bahkan ketika aku mengatakan bahwa kita tidak perlu takut jika suatu saat berpisah dan berdampingan dengan ruang yang memiliki bilangan ratusan kilometer, aku pun sedikit was-was. Tapi aku selalu percaya bahwa Tuhan selalu punya rencana lebih indah dari yang kita angankan.

Banyak orang yang menggandrungi kisah cinta orang lain, tokoh-tokoh pujaan, atau pun cerita cinta dalam fairy tale. Meski demikian, sesungguhnya kisah cinta yang paling dahsyat adalah yang terjadi pada kita sendiri, bagaimana pun jalannya.

Kasihku, aku menanti senja selanjutnya bersamamu, dalam bayang lentik matamu yang bidadari.



sumber : turasih.blogspot.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Pertama = Pacar Pertama??

Barcode Lambang Setan??

Masih Aku